Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mantunu Bai, Menolong Atau Merongrong ?

Obrolan Rural; Oleh : Feriantoding 

mantunu bai

Menolong atau Merongrong  ?

Untunu Bai atau Mantunu Bai merupakan sebuah tradisi turun temurun yang diwariskan oleh nenek moyang masyarakat Toraja Mamasa dan berlaku hingga saat ini. Pada dasarnya Mantunu Bai merupakan sebuah fenomena sosial yang umumnya dapat dijumpai pada upacara atau ritual-ritual tertentu masyarakat Toraja Mamasa, seperti Rambu Solo' (upacara kematian) dan Rambu Tuka' (pernikahan dan lainnya). Mantunu Bai adalah aktivitas pemotongan hewan atau ternak babi yang biasanya dilakukan oleh sekelompok keluarga atau masyarakat, bahkan keluarga dan kerabat dekat pihak penyelenggara Rambu Solo' atau Rambu Tuka'.

Dalam penyelenggaraan upacara Rambu Solo' dan Rambu Tuka' oleh sebuah kelompok keluarga masyarakat, keluarga dan kerabat dekat kerap kali akan hadir membawah hewan kurban "babi" tanpa permintaan bahkan persetujuan sekalipun dari pihak penyelnggara Rambu Solo' atau Rambu Tuka', dengan maksud untuk berkontribusi, sekaligus menolong. Namun, realita yang terjadi tidaklah demikian, maksud untuk menolong malah menjadi merongrong pihak keluarga penyelenggara.

Dalam beberapa kesempatan, penulis sering kali mengamati aktivitas Mantunu Bai yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat Toraja Mamasa. Di sini penulis menemukan sebuah fakta bahwa, sebenarnya di balik tradisi Mantunu Bai, tujuannya bukan hanya sekedar untuk berkontribusi terhadap keluarga yang menyelenggarakan Rambu Tuka'/ Rambu Solo'. Secara tidak langsung, hal demikian seolah menjadi beban sekaligus utang yang harus dibayar oleh keluarga penyelenggara. Mengapa demikian ? faktanya bahwa, daging dari ternak babi yang dibawah oleh si Tomantunu Bai (yang datang membawa babi) malah yang dibawah pulang justru lebih banyak dari pada yang didedikasikan kepada keluarga penyelenggara.

Di dalam tradisi Mantunu Bai masyarakat Toraja Mamasa, juga dikenal sebuah istilah Indan (utang). Dalam aplikasinya, (contoh) jika posisi saya sebagai penyelenggara Rambu Solo'/Rambu Tuka' lalu kemudian beberapa kerabat atau keluarga dekat hadir untuk memberi kontribusi, dalam hal ini Mantunu Bai, maka saya menganggap itu adalah utang yang harus saya bayar. Meskipun tidak ada kesepakatan secara langsung antara penyelenggara dengan Tomantunu Bai.

Sejatinya tradisi Mantunu Bai merupakan identitas masyarakat Toraja Mamasa bahkan Toraja Mamasa itu sendiri sebagai daerah adat, budaya dan tradisi.  Namun dengan melihat berbagai kontroversi yang terdapat di dalamnya, kini membuat posisi Toraja Mamasa berada dalam narasi tanda tanya.  Apakah Mantunu Bai adalah sebuah keharusan yang dilakukan dengan tanggung jawab penuh terhadap leluhur, kerabat, kampung halaman atau hanya sebagai ajang untuk memperoleh pengakuan.

Menggugah Paradigma

Tradisi Mantunu Bai paling besar dapat kita jumpai pada upacara Rambu Solo' To Sugi' (upacara kematian kaum bangsawan), di mana kita dapat melihat betapa banyaknya hewan  kurban yang datang dari berbagai sumber, sebutlah keluarga. Artinya bahwa, jumlah hewan kurban yang datang pada saat itu adalah jumlah utang yang harus dibayar. Bagaimana jika anda dan saya berada dalam posisi sebagai penyelenggara Rambu Solo' ? keping-keping realita dan kejut budaya yang kita alami bisa saja membenturkan isi kepala.


Penulis adalah salah satu masyarakat rural dari Mamasa yang kini berubah menjadi masyarakat urban karena sudah sekian tahun menetap di sebuah kota kecil dengan berbagai bentuk kebudayaan, tradisi dan adat istiadat yang masih kental, sebutlah Tana Toraja. Dengan melihat berbagai aktivitas pelaku budaya dan tradisi yang cenderung kontroversi, penulis kadang berpikir untuk mengasingkan diri dari fenomena tersebut yang kesannya tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman.


Sebagai bagian dari kebudayaan, tradisi Mantunu Bai dengan berbagi kontroversi yang terdapat di dalamnya dapat kita rubah karena sejatinya budaya sifatnya adalah sangat dinamis. Dengan kata lain, kita sebagai pelaku budaya perlu mempertahankan yang baik dan meninggalkan yang tidak baik tanpa mengeliminasi makna. Budaya adalah hasil karya manusia berdasarkan ratio, rasa sekaligus keinginan dalam mengolah alam untuk menikmatinya.


Tulisan ini tidak bermaksud untuk menyinggung pihak manapun, tulisan ini hanyalah sebuah opini untuk mengajak kita semua mengubah cara pandang kita terhadap fenomena-fenomena, pelaku sosial budaya khususnya yang menurut penulis sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman. Kelemahan penulis sendiri adalah tidak memahami budaya, tradisi dan adat secara utuh. Penulis tidak memahami latar belakang yang berbeda antara kota dengan modernitasnya dan desa dengan lokalitasnya. Kota yang mungkin dipengaruhi oleh kebudayaan barat, sedangkan desa yang memegang erat keluhuran.

Referensi :
Th. Kobong, "Aluk, Adat dan Kebudayaan Toraja Dalam Perjumpaannya Dengan Injil", Jakarta: Institut Theologia Indonesia, 1992.
Artikel Loka Banne,"Menggugat Adat, Menggugah Paradigma"


Posting Komentar untuk "Mantunu Bai, Menolong Atau Merongrong ?"