Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menerjemahkan Bondon Sebagai Ruang Dialog

 Obrolan Rural; oleh : Feriantoding

bondon, dapur

Beberapa dari kami, masyarakat Toraja Mamasa menyebutnya 'Bondon'. Ruang sederhana yang kami yakini sebagai pusat kehidupan.

Hadirnya media sosial dianggap sebagai sebuah kemerdekaan baru, di mana kita bisa menyaksikan berbagai peristiwa publik dalam ruang virtual tersebut. Seperti peristiwa dalam persona aktivitas hingga proses tukar-menukar supremasi. Sadar atau tidak, kita pun cenderung menenggelamkan sebuah peristiwa bahwa sebelum kita mengadopsi media sosial, ada ruang sederhana yang kami selaku Masyarakat Toraja Mamasa menyebutnya dengan Bondon (dapur) sebagai arena berdialog, sekaligus sebagai pusat kehidupan.

Bondon (dapur), adalah istilah yang akrab di mulut dan telinga kami, (dibaca: Masyarakat Toraja Mamasa). Ruang istimewah tempat kami berdialog, makan bahkan kerap kali kami dan kelurga jadikan sebagai tempat beristirahat untuk sesaat. Ruang yang tersedia saat metahari terbit hingga terbenam. 

Saat pagi hari tiba, gumpalan asap dari dapur akan terlihat pada sisi setiap rumah, pertanda bahwa  orang-orang sementara dalam aktivitas menuju rutinitas, sebut saja ibu, ayah dan anak yang sedang menyiapkan kebutuhan pokok mereka, dalam hal ini makanan atau bahkan sekedar menghangatkan tubuh di sekitar perapian saja. Mungkin saja sekujur tubuh mereka akan terlihat belepotan kehitaman dipenuhi arang dari dapur dengan bahan bakar kayu. Aktivitas tersebut berlanjut pada siang hingga sore hari setelah kami menyelesaikan perkerjaan utama. 

Media sosial memang memberikan sebuah kemerdekaan baru, memudahkan ada dan saya (kita) untuk berkomunikasi dari tempat yang berbeda, memperoleh informasi dari berbagai sumber dan masih banyak manfaat yang lainnya. Namun, setelah kita mengadopsi teknologi (media sosial) sebagai media untuk berdilaog, kita kemudian seolah-olah menenggelamkan budaya berdialog dengan duduk bersama secara langsung, meskipun hal itu bukan masalah utama dalam tulisan ini.

Faktanya bahwa, setelah kita mengenal media sosial, budaya dan ruang berdialog sudah mulai pudar bahkan hampir hilang.  Sederhananya, dalam sebuah keluarga, sebutlah ibu, ayah dan anak sudah sangat jarang melakukan dialog bahkan sekedar bercanda ria sekali pun. Semuanya berfokus pada gadget masing-masing. Si anak sibuk bermain game, ayah sibuk facebookan, sementara ibu yang mungkin masih belum melek teknologi.

Sepulang dari sawah dan ladang, penat, lelah dan capek sekali pun kini bisa hilang seketika hanya dengan menonton video siaran langsung aktor komedian, sebutlah Bang Jono di halaman facebooknya yang dia namai Rano TV.  Di satu sisi, hal demikian memang memberi manfaat tersendiri. Namun di lain sisi, juga dapat meneggelamkam aktivitas dialog, kebersamaan bahkan membuat kita lupa diri jika tidak dimanfaatkan dengan seperlunya saja.

Bondon (dibaca : ruang dialog) sebagai subjek utama dalam tulisan ini mewakili ruang-ruang dialog lainnya yang kini mulai memudar, media sosial adalah dikecualikan. Salah satu faktor penyebab tenggelamnya ruang dialog khususnya antara keluarga adalah karena sugesti dan pengaruh dari kapitalisme digital.  Berangkat dari fenomena tersebut, maka tugas kita sebagai pengguna media sosial, khususnya anda dan saya yang sudah terbawah arus  kapitalisme digital, perlu memiliki kesadaran untuk kembali menghidupkan Bondon dengan potensinya sebagai ruang dialog yang paling tepat untuk semua kalangan. 

Barangkali kakek dan nenek rindu untuk berinteraksi, berbagi pengalaman, kisah hidup, bahkan mungkin arti kehidupan dengan kita di masa-masa tuanya. Namum, apalah daya, mereka tidak melek teknologi, sementara si anak, cucu dan cicit sibuk dengan gadget masing-masing. 

Penulis sendiri menerjemahkan Bondon sebagai ruang dialog, ruang yang memfasilitasi  basis komunikasi dan interaksi, bukan hanya dalam lingkup keluarga tapi juga masyarakat luas. Bondon sejatinya adalah masyarakat Toraja Mamasa itu sendiri, ruang yang mampu mepererat hubungan kekeluargaan, kerukunan bahkan perbedaan antara keluarga masyarakat sebagai aktor utama, yaitu anda, saya dan kita semua. 




Posting Komentar untuk "Menerjemahkan Bondon Sebagai Ruang Dialog "